Di zaman yang serba cepat dan mengharuskan segala sistem yang begitu cepat pula karena didukung oleh populasi menusia yang sangat cepat pula hal itu berimbas pada dunia pertanian. Sebagai yang utama dalam masalah hidup ini menuntut sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi manusia yang tidak terbendung secara cepat dan bagus tidak hanya kuantitas tetapi kualitasnya juga. Dari hal-hal seperti itulah bioteknologi di bidang pertanian berusaha untuk menjawab tantangan itu.
Selama kurang lebih empat dasawarsa terakhir, kita melihat begitu pesat perkembangan bioteknologi di berbagai bidang.
Pesatnya perkembangan bioteknologi ini sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dimuka bumi. Hal ini dapat dipahami mengingat bioteknologi menjanjikan suatu revolusi pada hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian, peternakan dan perikanan hingga kesehatan dan pengobatan.
Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu ‘bio’ yang berarti makhuk hidup dan ‘teknologi’ yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa[Goenadi & Isroi, 2003]. Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru.
Bioteknologi merupakan bidang ilmu baru di bidang pertanian yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan cara konvensional. Penggunaan bioteknologi bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Bioteknologi harus diintegrasikan ke dalam pendekatan-pendekatan konvensional yang sudah mapan. Bioteknologi berkembang dengan cepat di berbagai sektor dan meningkatkan keefektifan cara-cara menghasilkan produk dan jasa. Untuk alih teknologi dan pengembangan bioteknologi secara layak dan tidak merusak lingkungan, diperlukan berbagai persyaratan selain peraturan perundangan juga modal yang besar.
Bioteknologi memperlihatkan suatu rangkaian yang mengagumkan dari berbagai disiplin ilmu seperti mikrobiologi, anatomi tumbuhan dan hewan, biokimia, imunologi, biologi sel, fisiologi tumbuhan dan hewan, morfogenesis, aekologi, genetika dan banyak lagi lainnya.peranan biologi yang baru didapat ini telah memberikan sumbangan teramat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan umat manusia.
Dimulai dari nenek moyang kita, pemanfaatkan mikroba telah dilakukan untuk membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi, kecap, yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba, demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga pencuci pakaian. Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah dimanfaatkan sejak abad ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk pertanian di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah dimanfaatkan secara intensif untuk mendekomposisi limbah dan kotoran. Ya mikroba telah mengambil andil besar dalam menggalakkan pertanian organic. Mikroba dibutuhkan untuk mengkomposkan pada pembuatan pupuk kompos yang terdiri dari kotoran dan seresah tanaman-tanaman (Winarno. 2007).
Contoh tanaman yang dikembangkan melalui bioteknologi.
Perkembangan Bioteknologi Industri/Bioindustri di Indonesia
Apabila perkembangan bioteknologi secara keilmuwan di Indonesia kuat khususnya di bidang pertanian, perkembangan industri/bioindustri Indonesia justru sebaliknya. Seperti contoh di pendahuluan, bioteknologi pertanian dengan pemanfaatan tanaman transgenik oleh perusahaan seperti Monsanto/Monagro Kimia, banyak mendapat tantangan. Sehingga pemanfaatan bioteknologi pertanian kita masih bersandar pada bioteknologi tingkat tua yaitu pemanfaatan pada tingkat seluler bukan molekuler. Contohnya adalah industri kultur jaringan yang berkembang baik dalam industri kehutanan dengan kebutuhan penyediaan bibit tanaman untuk reboisasi maupun untuk estetika seperti bunga-buga untuk pajangan seperti anggrek, dsb.
BIOTEKNOLOGI DALAM PRODUKSI MAKANAN
Berbagai proses bioteknologi yang ditujukan untuk mengolah bahan makanan telah sejak lama dikonsumsi orang seperti tempe, tauco, kecap, yogurt, tuak, dan wine. Teknologi tersebut telah lam dipraktekkan selama ribuan tahun dan dikembangkan secara naluri dan seni tradisional. Hanya baru2 ini saja teknik yanglebih maju telah diterapkan pada proses tersebut. Proses bioteknologi untuk memproduksi makanan melibatkan teknik yang relative sederhana dan mudah untuk dikembangkan dalam skala besar.
Bioteknologi pangan, cukup berkembang dengan baik walau belum tereksploitasi secara optimal. Misalnya komposisi kecap yang membedakan rasa, warna dan bau/flavor sangat dipengaruhi oleh jenis kedelai sebagai bahan baku dan juga mikroba yang digunakan. Sementara ini semua masih dilakukan secara tradisional walau secara penelitian sudah ada yang mulai mengarah pada pemanfaatan flavor-nya. Demikian pula berbagai buah dan produk pertanian untuk pangan baik sebagai perasa seperti vanili maupun pewarna dan bau yang banyak dieksploitasi oleh industri flavor Eropa dan Amerika di Indonesia, juga makin merasakan pentingnya bioteknologi modern. Selain flavor, kebutuhan yang besar adalah enzim dan protein yang banyak digunakan dalam proses pembuatan produk pangan seperti enzim protease, enzim lipase, dsb. Tak terkecuali dengan pemanfaatan baru di kosmetik dan kebersihan seperti munculnya pasta gigi yang mengurangi detergen dengan mengganti protease, shampoo dengan komposisi protein collagen, dll (Budi Witarto, Arif. 2006).
Jenis-jenis makanan tradisional hsil fermentasi seperti tempe atau kecap dibuat melalui suatu rangkaian proses fermentasi kedelai. Selain itu terdapat miso yang berasal dari pasta kedelai yang diragikan. Negara- Negara di Asia menghasilkan aneka ragam produk hasil fermentasi dengan konsumsi per-kapita yang tinngi setiap tahunnya (Winarno, 2007).
Pembuatan roti dan jenis-jenis produknya umumnya diproduksi dari tepung gandum atau terigu, air atau susu, garam, gula dan ragi. Proses fermentasi dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu pengembang adonan, pembentukan citarasa, dan perubahan tekstur dalam adonan. Ilmu genetika terapan yang modern berupaya untuk meningkatkan kualitas organisme ragi sehingga memperbaiki aktivitasnya dan menghasilkan citarasa serta tekstur yang lebih baik pada produk roti yang dihasilkan (Winarno. 2007).
Minuman beralkohol ; pembuaatan minuman beralkohol ini dengan cara memeram bahan-bahan yang mengandung gula atau bahan-bahan yang mengandung pati yang harus dihidrolisis menjadi gula sederhana sebelum dilakukan fermentasi. Pemeraman ini dilakukan dibantu oleh mikroorganisme yang sesuai dan dibiarkan meragi, produk akhir akan berupa cairan yang mengandung alcohol dengan kadar mulai dari beberapa persen hingga mencapai 16% atau lebih.
BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN
Rifai (2001) mengatakan, penggunaan bioteknologi untuk menciptakan kultivar unggul seperti tanaman padi dan tanaman semusim sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Karenanya, pengembangan bioteknologi diberbagai bidang perlu mendapat perhatian serius. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri akibat ketertinggalan negara kita mengembangkan bioteknologi adalah dimanfaatkannya plasma nutfah negara kita oleh negara lain. Durian bangkok dan mangga berwarna keunguan dari Australia adalah sebagian kecil contohnya.
Bioteknologi seperti transgenik dalam bidang pertanian pada dasarnya telah mulai dikembangkan, namun penolakan-penolakan dari berbagai pihak menyebabkan teknologi ini tidak pesat perkembangannya. Tanaman-tanaman pertanian yang telah berhasil meningkatkan produksi dan kualitas melalui transgenik antara lain kapas, jagung, dan lain-lain.
Pro dan kontra penggunaan tanaman transgenik ramai dibicarakan diberbagai media massa. Salah satu contohnya adalah kapas transgenik. Pihak yang pro, terutama para petinggi dan wakil petani yang tahu betul hasil uji coba di lapangan memandang kapas transgenik sebagai mimpi yang dapat membuat kenyataan, sedangkan Pihak yang kontra, sangat ekstrim mengungkapkan berbagai bahaya hipotetik tanaman transgenik (Tajudin, 2001).
Selain kapas, Setyarini (2000) memaparkan tentang kontroversi penggunaan tanaman jagung yang telah direkayasa secara genetik untuk pakan unggas. Kekhawatiran yang muncul adalah produk akhir unggas Indonesia akan mengandung genetically modified organism ( GMO ). Masalah lain yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak adalah potensinya dalam mengganggu keseimbangan lingkungan antara lain serbuk sari jagung dialam bebas dapat mengawini gulma-gulma liar, sehingga menghasilkan gulma unggul yang sulit dibasmi. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang pro mengatakan bahwa dengan jagung transgenik selain akan mempercepat swa sembada jagung, manfaat lain adalah jagung yang dihasilkan mempunyai kualitas yang hebat, kebal terhadap serangan hama sehingga petani tidak perlu menyemprot pestisida (W.Marlene Nalley.2001).
Pendekatan Biologi Molekuler untuk mengatasi Krisis Pangan
Penggunaan marka molekuler (penanda molekuler) untuk menyeleksi sifat yang diinginkan dari keturunan hasil persilangan dengan pelacakan sifat-sifat tanaman berdasarkan DNA yang dimiliki tanaman akan mempercepat proses tersebut.
Salah satu kelebihan dari metode ini adalah mempersingkat pengujian tanaman. Jika dengan cara konvensional diperlukan waktu sedikitnya lima tahun, dengan cara ini hanya diperlukan waktu paling lama tiga tahun. Dengan marka molekuler, pada generasi ketiga tanaman hasil persilangan sudah stabil.
Pada tanaman jagung marka molekuler digunakan untuk mengetahui jarak genetik (hubungan kekerabatan) jagung. Dengan begitu, para pemulia menjadi lebih mudah dalam melakukan persilangan. Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap sumber genetik pertanian Indonesia dari ancaman kepunahan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dengan mendirikan laboratorium Bank Genetik sangat diperlukan. Dan tentu saja, hal itu akan lebih baik jika dilakukan tidak hanya oleh Balitbiogen saja (Anonymous, 2003).
Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit ( Nasution, Muhammad Arif. 2002).
Tanaman Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang toleran dengan salin (New Scientist, 1997 dalam Sitepoe,2001)
Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan
Tanaman tahan kekeringan memiliki akar yang sanggup menembus tanah kering, kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satutanaman transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan (Guardian Online, 1997 dalam Sitepoe, 2001).
Tanaman Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin (Feitelson et al, 1992).
Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenic pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang. Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat diinaktifkan (Lal and Lal, 1990). Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet (Sumber: Nottingham S, 1998).
Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt telah berhasil diproduksi, antara lain kapas (Bt toksin terhadap cutton boll worm, produksi Monsanto, St. Louis, Missouri, Amerika Serikat; kini diuji coba secara terbatas di Sulawesi Selatan), kentang (Bt toksin terhadap Colorado bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat), jagung (Bt toksin terhadap pengerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro, California Utara, Amerika Serikat (Nasir, 2002).
Tanaman Transgenik Resisten Penyakit
Dalam percobaan kloning “Bintje” yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon “Bintje” dapat mengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55% jika dibandingkan dengan tipe liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P. infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi protein selubung {coat protein) Johnsongrass mosaic potyvirus (JGMV) ke dalam suatu tanaman diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan cDNA dari JGMV, misalnya dari protein selubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) dengan kontrol promotor 35S CaMV, mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan akan dihasilkan jagung transgenik yang bebas dari serangan virus.
Hal serupa juga sedang digalakkan dengan rekayasa genetika pada tanaman padi-padian untuk mendapatkan varietas yang resisten terhadap virus padi. Di samping itu, usaha untuk meningkatkan kualitas beras seperti yang diinginkan oleh manusia juga sedang diusahakan. Jepang memberikan investasi yang cukup besaruntuk penelitian dan pengembangan di bidang biologi molekul padi.
Kultur jaringan
Juga tak kalah pentingnya teknologi kultur jaringan yang merupakan kemajuan besar dalam bidang pertanian. Kultur jaringan adalah pembuatan bibit dan perbanyakannya menggunakan permainan komposisi media. Yang digunakan bisa segala sumber organ tumbuhan mulai dari biji, daun, tunas, dsb jadi lebih luas dari teknologi pembibitan konvensial dengan stek. Yang dimanipulasi adalah sel penyusun organ itu untuk berubah menjadi tanaman sempurna melalui hormon-hormon dalam media yang digunakan. Jadi ini adalah bioteknologi tingkat tua, bukan bioteknologi modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar