Saat-saat yang menegangkan adalah saat dimana Ujian Nasional akan dilaksanakan! Itu menurut teman-temanku. Tapi menurutku, Ujian Nasional sama saja seperti ulangan-ulangan biasa. Yang berbeda cuma soal Ujian Nasional di ambil dari pelajaran-pelajaran kelas X, XI, XII.
Seminggu sebelum ujian ini dilaksanakan, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi-nya bersama sahabatku, Rifa. Aku bersahabat dengan Rifa sejak kelas 7 MTs. Saat itu, dia sudah kelas 8. Tetapi, ketika Rifa naik ke MA, dia pindah ke Ibukota Jakarta dan bersekolah di suatu sekolah yang sangat bagus
dan menjadi sekolah idaman semua anak (tidak semua juga sih). Tetapi, karena bisa di kata aku murid yang terkenal cerdas (bukan maksudku sombong) aku menerima akselerasi di sebuah MA tempat Rifa juga bersekolah. Sungguh sesuatu yang sangat membanggakan untukku.
Setelah aku menerima dan menyetujui akselerasi itu, akupun mengabari kepada Rifa,
“Rifa?”
“Iya Shifa? Kenapa? Barusan lagi kamu nge-sms aku. Hehe :D ”
“Oh, enggak. Aku cuma mau bilang, aku mau liburan kesana.”
“Oh, ya? Wah. Senang rasanya. Kamu tinggal dimana disini? Kapan-kapan kamu mampir kerumahku yah. Btw, kok tumben kamu liburan ke luar kota? Biasanya kamu pilih liburan di rumah?”
“Hehe. Sebenarnya, bukan sekedar liburan. Aku dapat akselerasi sekolah disana. Jadi, kira-kira kalau kamu kelas 12 nanti, kita seangkatan.”
“Hah? Iyakah? Wah. Selamat yah Shifa. Kamu sudah bisa buktiin kalau kamu bisa. Oh, iya. Sampai jumpa disini yah.”
Rifa pun menutup telponku.
Perasaan bangga dan senang yang kini kurasakan. Aku ditemani kakakku yang juga bersekolah tepatnya kuliah S1 di Jakarta. Aku memang pernah mengatakan kepada Fitri, aku pengen mendapatkan akselerasi dan bersekolah di tempat suatu sekolah yang menjadi idaman banyak orang. Tetapi, berkat sebuah lomba internasional yang kuikuti, sekolah memberikan ku beasiswa dan akupun mendapat akselerasi.
Ketika aku masuk di sekolah ini, yah Rifa sudah kelas 11. Dan ketika pengumuman penaikan kelas, akupun naik ke kelas 12. Dan karena Rifa terkenal sebagai anak yang cerdas di sekolah ini, dia dimasukkan di kelas homogen, yaitu kelas khusus untuk anak-anak yang di anggap cerdas dan kelas ini menggunakan 2 bahasa. Inggris-Indonesia. Bukan berarti, kelas-kelas yang lain itu buruk. Dan ketika kelas 12, aku sekelas dengan Rifa. Sungguh senang rasanya. Kami kadang bernostalgia ketika masa-masa di SMP dulu dan saling tanya-menanya tentang sahabat-sahabat kami yang dulu seperti Alvi,Chilmiya, Farah, Ihda, Nilna, dan Jannah. Mereka masih ada yang menetap kecuali Chilmiya. Dia bersekolah di Bandung. Tapi, komunikasi kami semua masih tetap lancar.
Persiapanku dan Rifa menghadapi ujian nasional sudahlah mantap. Kamipun tak lupa memanjatkan doa untuk kelulusan kami. Tetapi ada kabar yang sangat mengejutkan dari Rifa. Kesehatannya sangat turun. Penyakitnya yang dia idap semenjak kecil kambuh lagi. terpaksa dia di rawat di rumah sakit selama beberapa hari. Akupun sering menjenguknya bersama kakakku. 3 hari lagi, ujian nasional akan diadakan. Dan menurut keterangan dokter, Rifa sudah akan bisa keluar dari rumah sakit dalam 2 hari kedepan. Akupun selalu berdoa, semoga Rifa bisa mengerjakan soal-soal ujian nasional terakhirnya selama hampir kurang lebih 12 tahun dia bersekolah.
Ujian nasional yang telah lama dinanti-nanti ini akhirnya tiba. Ku lihat, Rifa turun dari mobil menggunakan kursi roda. Kemudian kudatangi dia dan ku dorong kursi rodanya menuju ruanganan ujian. Aku sangat kasihan dengan Rifa. Walaupun dia lagi sakit, dia tetap masuk sekolah dan melakukan ujian.
Ujian dilaksanakan hanya 3 hari. Setelah ujian nasional berakhir. Ku lihat wajah teman-temanku. Senang, gembira, dan ada juga yang tegang dan bingung bagaimana nanti hasilnya. Dan ku lihat Rifa menghampiriku.
“Hay, Shifa?.”
“Hay, Rifa. Gimana nih perasaanmu?”
“Yah, seperti teman-teman yang lainlah, Shifa. Semoga hasilnya sangat memuaskan yah Shifa.”
akupun membalasnya dengan senyuman.
Pengumuman kelulusan akan diumumkan dalam kurung waktu 2-3 minggu lagi. aku hanya dapat berdoa dan berdoa. Karena akulah anak paling muda diangkatanku. Aku berbeda setahun dari mereka. Jadi ku pikir, apakah aku bisa? Tapi untung saja ada Rifa, dan sahabat-sahabatku yang lain mendukungku. Ku ingat apa yang dikatakan Chilmiya, “Kamu punya mimpi yang besar dan kamu kini bisa mewujudkannya! Yaitu, kamu bisa membanggakan orangtua, kami (sahabat-sahabatmu) dan sekolah di tingkat internasional! Kamupun harus tetap yakin kamu bisa lulus dan kalau perlu, kamupun harus bisa mengalahkan nilai-nilai kami! Kamu pasti bisa!” ku ucapkan baik-baik kata-kata itu di dalam didiriku. Rifa pun selalu mendukungku. Akupun selalu mendukungnya.
Hari ini, aku bangun dengan gembira. Bagaimana tidak. Ini adalah hari dimana penamatan akan dilakukan. Aku didampingi kakakku menuju gedung tempat penamatan sekolahku dilakukan. Untung saja permohonanku untuk orang tuaku diwakili oleh kakakku dikabulkan dengan pertimbangan, jauhnya jarakku dengan orang tuaku. Aku sangat deg-degan menunggu hasilnya dibukakan oleh bapak kepala sekolah. Ku lihat pula wajah teman-teman yang lain. Sepertinya merekapun deg-degan dan adapula yang mulutnya komat-kamit berdoa. Dan oh, ya. Dimana Rifa?? Akupun melihat kesekelilingku. Kemudian, ada ku lihat seorang anak menggunakan kursi roda masuk dengan didampingi kedua orang tuanya. Karena ada 3 kursi kosong disampingku, orangtua Rifa pun duduk disitu dan seorang guru memindahkan satu kursi karena Rifa hanya ingin duduk di kursi rodanya saja. Ku lihat sebuah senyuman terukir di bibir kecil Rifa. Dia agak pucat.
Ketika pak kepala sekolah membuka hasilnya, ternyata semua siswa (siswi) di sekolah kami lulus 100%! Kami semua bersorak gembira. Adapula yang melakukan sujud syukur dan adapula yang menangis bahagia.
“Selamat yah dek. Adek kini sudah membuktikan ke kakak klo adek bisa.”
“Iya, kak. Makasih. Dan makasih juga atas doa-doa kakak ke adek.” Jawabku sambil tersenyum. Kemudian ku lihat Rifa. Dan kemudian ku peluk dan kuucapkan selamat ke Rifa. Dan ketika kucek hpku, sudah banyak ucapan selamat dari teman-temanku dan juga sahabat-sahabatku. Ternyata, Alvi, Chilmiya, Farah, Ihda, Nilna, dan Jannah lulus pula! Senang rasanya dapat lulus bersama walaupun dengan jarak yang sangat jauh. Apalagi ketika pak Hamid dan Bu Betty mengumumkan siswa berprestasi dan mendapat nilai tertinggi di sekolah. Dan syukur alhamdulillah! Akupun kembali membanggakan keluargaku dan juga sahabat-sahabatku! Aku naik sebagai siswa berprestasi bersama Rifa! Dan mendapat nilai tertinggi bukan hanya di sekolah, tapi senasional! Akupun kembali mendapat beasiswa. Karena aku juga sering ikut perlombaan mewakili sekolah ketika kelas 10.
Aku dan Rifa pun naik keatas panggung dengan keluarga. Kecuali aku yang hanya didampingi oleh kakakku. Aku dan Rifa mendapat banyak hadiah dari sekolah walaupun lebih banyak aku. Aku mendapat beasiswa kuliah S1 di Amerika. Ketika di atas panggung, ku lihat Alvi, Chilmiya, Farah, Ihda, Nilna, dan Jannah! Dan ku bisik ke Rifa bahwa mereka ada di dekat pintu masuk. Ku lihat pula Nilna yang asyik memotret-motret kami di atas. Ku lihat juga, senyum kebahagiaan di bibir Rifa.
“Para hadirin, perlu anda semua ketahui, Arishifa Zafinah Putri yang akrab di panggil Shifa dan Rifa Siti Rahmah atau yang akrab di panggil Rifa ini pernah menjuarai sebuah lomba yang mungkin kalian tidak ketahui termasuk saya sendiri sebagai gurunya dan hanya pak kepala sekolah yang tahu, mereka berdua mendapat juara 1 dalam lomba tersebut! Penyerahan hadiah dilakukan oleh pak kepala sekolah dengan hormat kami persilahkan menyerahkan hadiah kepada Rifa dan Shifa.” Kulihat hadiah uang sebesar 12 juta diberikan kepada kami berdua. Dan 2 buah medali emas untuk kami berdua. Ku lihat sahabat-sahabatku yang bersorak-sorak gembira.
Esokan harinya, ku lihat ada sebuah sms masuk. “Hai Shifa. Ini aku Farah. Entar jam 10 kamu ke sebuah restoran dekat rumah kakakmu yah? Kami tunggu?” kulirik jam dinding. Sudah pukul 8. Aku segera bersiap-siap. Aku sebenarnya sudah dapat mengendarai kendaraan bermotor sendiri. Cuma kakakku takut membiarkankanku. Ketika kakakku ada kuliah tambahan, aku kadang nekad membawa motornya. Tapi, untuk sekarang aku dibolehin karena kakakku lagi ingin mengendarai mobilnya. Dan rencananya juga, orang tuaku dan adekku akan datang nanti sore.
Sudah hampir jam 10, akupun berangkat ke tempat yang dikatakan Farah. Sesampainya disana, semua sahabat-sahabatku sudah pada ngumpul. Kamipun bernostalgia tentang masa-masa di SMP dulu dan kami tak sadar bahwa kami telah tamat SMA.
“ngomong-ngomong, kita ada yang kurang deh.” Kata Alvi.
“Hm, sepertinya iya. Tapi siapa?” kata Ihda.
akupun melihat ke sekeliling. Ternyata betul ada yang kurang. Rifa. Dia tidak disini. Kemudian aku mencoba untuk menghubungi telpon Rifa.
“Hallo.”
“iya, hallo nak Shifa?”
“Oh, ini mamanya Rifa ya? Tante, aku mau nanya, Rifa ada di rumah enggak?”
“Hiks.” Ku dengar suara isak tangis tante Velga.
“Hallo tante? Ada apa?”
“Begini nak Rifa, Rifa. Sedang di rawat di rumah sakit dan keadaannya sangat kritis.” Tiba-tiba airmataku turun. Sahabat-sahabatku serontak kaget melihatku.
“Ada apa Shifa? Apa yang terjadi sama Fitri? Shifa? Cerita dong.” Kemudian akupun menceritakan kepada mereka. Kamipun segera menuju rumah sakit tempat Rifa di rawat. Farah memboncengku karena dia takut aku kenapa-kenapa kalau aku bawa motor sendiri.
Sesampainya disana, Chilmiya segera bertanya kamar Rifa. Setelah itu kami bergegas ke kamar tempat dirawatnya Rifa. Ku lihat dia terbaring lemah. Aku segera memegang tangannya dan memanggil namanya pelan sambil terisak.
“Dia begitu pucat dan begitu dingin. Aku cuma bisa mendoakan yang terbaik.” Ujar Jannah. Dia anak yang pendiam, namun ketika sudah ngumpul bareng kami, dialah yang paling ribut. Tapi dia memiliki insting dan feeling yang sangat kuat. Katanya, sudah keturunan dari keluarganya memang.
“Jannah! Jangan berkata begitu!” kata Ihda sambil menyikut Jannah.
“Hm, okelah.”
kemudian kulihat Rifa tersenyum dan membuka matanya.
“Rifa, kamu kenapa? Kamu baik-baik sajakan? Rifa.” Kataku masih sambil terisak. Dia hanya tersenyum. Membuatku tambah menangis dan Chilmiya pun ikut menangis di pundak Ihda.
“aku, baik-baik saja.” Kata Rifa. Akupun terdiam sejenak sambil melihat Rifa yang menghembuskan nafasnya panjang.
“Rifa,”
“Hm, teman-teman. Terima kasih sudah datang menjengukku. Aku juga berterima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Huft. (Rifa kembali menghembus nafas panjang) dan aku juga meminta maaf kalau aku banyak salah ke kalian. Mungkin saja, umurku ini sudah tak lama lagi. jadi aku mohon maafkan aku ya.” Jannah kemudian berjalan dan menunduk ke telinga Rifa. Entah apa yang mereka bicarakan. Jannah pun menjawab,
“Kamu –Hiks- kamu engga punya salah apa –hiks- apa ke kita. Kita juga mau minta maaf ke kamu.”
“Iya aku maafin.” Ku lihat begitu indah senyuman Rifa. Sangatlah indah. Kemudian, Jannah berbisik dan Rifa pun mengikuti apa yang dikatakan Jannah. Aku hanya dapat terdiam dan mengeluarkan airmata mendengar kata-kata itu. Shalawat dan syahadat.
Tiit.. tiit.. tiitt.. Jantung Rifa berhenti berdetak seiring ketika ia tersenyum kepada kami. Tumpahlah air mata kesedihan kami. Akupun berusaha mengguncang-guncang membangunkan Rifa. Tetapi, dia tertidur sangatlah lelap. Hanya tangisan yang kami dapat lakukan.
Pagi ini adalah hari pemakaman Rifa. Aku harus hadir.
“Shifa, bangun nak. Katanya mau ngehadirin pemakaman Fitri. Ayolah cepat.” Kata mamaku. Ku lihat kakakku yang sudah siap dengan baju berkerah berwarna hitamnya. Akupun segera mandi dan mengganti pakaian.
Tepat di rumah duka, kulihat teman-teman dan sahabat-sahabatku telah berkumpul. Chilmiya datang kemudian memelukku erat.
“Shifa, entah apa yang harus kukatain sekarang. Aku engga sanggup melihat sebuah mayat orang yang sangat kita sayangin disana. dan, aku engga nyangka, kita akan berpisah jauh dengannya.” Airmataku pun tumpah lagi. akupun segera berlari masuk dan memeluk erat Rifa.
“Rifa, walaupun engkau tidak mendengar secara fisik tapi aku yakin arwahmu mendengar apa yang kuucapin. Aku mau berterima kasih, sama kamu! Kamulah penyemangatku! Entah akan jadi apa aku saat ini kalau kamu engga ada kamu. Rifa.”
Setelah sholat Dzuhur Rifa dimakamkan di TPU terdekat. Ku lihat orang-orang termasuk Farah, Alvi dan Jannah memggendong sebuah keranda yang berisi mayat yang telah dikafani. Rifa. Rifa Siti Rahmah Telah tertidur untuk selama-lamanya.
Setelah pemakaman selesai, sisa aku, Chilmiya, Alvi, Farah, Jannah, Nilna dan Ihda dipemakaman. Orang tua Fitri sudah pulang. Ku lihat sebuah nisan yang bertuliskan nama : RIFA SITI RAHMAH BINTI NURDIFAN. Kami semua hanya dapat menangis, menangis, dan menangis sedih.
Seminggu setelah sepeninggal Rifa, aku akan berangkat Amerika. Sehari sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Fitri. Kemudian, aku berangkat ke bandara oleh keluarga dan sahabat-sahabatku. Karena hari ini juga, Chilmiya berangakat ke Singapura. Jadi barengan deh. Aku ke Amerika ditemani oleh seorang guruku di MA.
Terima kasih Rifa. atas dukunganmu aku bisa sesukses sekarang ini. Sudah hampir 6 tahun kau meninggalkanku. Sekarang aku menjadi seorang penulis terkenal dan aku telah menyelesaikan kuliahku di Amerika. Akupun diterima di sebuah perusahaan di Amerika. Sahabatku yang lain pula kini sudah menjadi orang yang sukses. Rani berhasil menjadi seorang desainer muda terkenal. Farah sibuk dengan semua proyeknya. Farah kini menjadi seorang arsitek muda. Ihda dan Nilna berhasil mewujudkan mimpi mereka berdua membuka sebuah restoran. Jannah kini kerja di Rusia sebagai ilmuwan, dan oh, ya Alvi! dia bekerja sebagai seorang dokter. Bangga rasanya kami semua telah sukses. Saat ada reuni angkatanku dan angkatan sahabat-sahabatku pun, ku lihat teman-temanku sudah pada sukses dan ada pula sudah memiliki anak. Di acara tersebut, kami memanjatkan doa bersama untuk alm. Rifa.
Selamat jalan Sahabatku. Semoga engkau tenang berada di sisi-Nya
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar