Faktor-faktor Penyulut Radikalisme

I. Faktor Agama
   Ditulis oleh Ustadz Muladi Mughni, Lc.  
Berikut ini akan saya sampaikan enam faktor yang dapat menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme. Mengingat Rasulullah Saw sangat mewanti-wanti umat Islam untuk tidak terjebak pada tindakan ekstremisme (at-tatharuf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tasyaddud). I. Faktor Pemikiran:


Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama.

Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme.

Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.

Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad.

Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lain-lain.
Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewenga
n kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri.

II. Faktor Ekonomi :

William Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia Baru” mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional.

Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.

Sangat tepat jika kita renungkan hadits nabi yang mengatakan, “Kaada al-Faqru an yakuuna Kufran”. Hampir-hampir saja suatu kefakiran dapat meyeret orangnya kepda tindakan kekufuran”. Bukankan tindakan membunuh, melukai, meledakkan diri, meneror suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran.?

III. Faktor Politik:

Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.

Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.

Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini.

IV. Faktor Sosial:

Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.

Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.

V. Faktor Psikologis:

Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.

Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.

VI. Faktor Pendidikan:

Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.

Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.

Demikianlah penjabaran enam faktor penyulut terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertaqwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Dengan langkah ini kita memohon kepada Allah Swt, semoga bangsa dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an:

Yang artinya: Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri (Q.S. al-A’raf: 69).

RADIKALISASI AGAMA

Seperti yang kita ketahui bahwasanya kita beragama tidak lain untuk mencari ketenangan hidup. Agama manapun itu tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindak kekerasan. Di dalam Al-qur’an selaku kitab suci umat Islam tidak diajarkan tindak kekerasan, begitupun di dalam Injil dan kitab-kitab agama lainnya. Fenomena yang terjadi saat ini banyak orang melakukan tindak kekerasan dengan mengatas namakan agama. Kita sering menyebut tindak kekerasan dengan mengaasnamakan agama ini dengan istilah radikalisasi agama.
Secara bahasa radikalisasi berasal dari kata radik yang artinya akar. Kata radikal yang seharusnya bermakna positif, ketika digabungkan dengan kata agama terjadilah degradasi makna. Orang-orang lebih mengartikan radikalisasi agama ini sebagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kalau saja kita tahu arti sebenarnya dari radikalisasi agama tentunya kita tidak akan berpandangan negatif terhadap kata tersebut. Penulis pada saat ini akan memberikan pandangan terhadap radikalisasi agama sebagaimana yang telah diketahui masyarakat luas, yaitu kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Beberapa bulan yang lalu kita mendapat berita tentang unjuk rasa yang dilakukan olen Front Pembela Islam. Mereka memporakporandakan lokalisasi-lokalisasi yang buka pada nulan suci Ramadhan. Beberapa tahun yang lalu di tempat yang lain (Poso) terjadi penyerangan dari umat Kristiani terhadap warga muslim dan mengorbankan puluhan warga muslim. Itulah segelintir fenommena yang terjadi di tanah Air kita. Masih banyak tragedi-tragedi lainnya yang mengatasnamakan agama dalam bertindak kekerasan.
Kita pasti bertanya-tanya, apa alasan mereka melakukan tindak kekerasan tesebut? Benarkah isu yang mereka lontarkan, bahwa kekerasan yang mereka lakukan itu atas nama kesucian agama? Ataukah masih ada alasan-alasan lain dibalik semua itu?
Dalam sebuah Dialog Pemuda Lintas Agama yang diselenggarakan oleh Damar Institute bekerjasama dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kabupaten Bandung, yang dihadiri Ketua Jaringan Kominikasi Antar Umat Beragama (Jakatarub) membahas masalah gerakan radikalisasi agama yang terjadi di Indonesia. Khairul Umam selaku ketua Umum dari Damar Institute mengatakan bahwa “Tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kaum minoritas”. Contoh kecil kelompok Front Pembela Islam (FPI) mereka melakukan tindakan kekerasan karena mereka adalah kaum minoritas.
Pendapat ini dibantah oleh ketua umum Jakatarub Wawan Gunawan, S.Sos.I, bahwa ada tiga faktor mengapa terjadi tindak kekerasan. Pertama, adanya otorisasi dari pelaku kekerasan tersebut. Kedua, rutinisasi kelompok tindak kekerasan. Ketiga, terjadinya dehumanisasi dari pihak pelaku terhadap korban.
Pertama, adanya otorisasi dari pelaku kekerasan. Hal inilah sering terjadi di negara kita. Kita lihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan beringasnya mereka menggusur rumah-rumah warga yang dibangun diatas tanah sengketa. Mereka bertindak beringas dengan alasan adanya surat perintah kepada mereka untuk menggusur pemukiman warga di tanah sengketa tersebut. Surat perintah ini mereka jadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Contoh lain, tindak kekerasan yang dilakukan oleh FPI dengan mengatasnamakan Agama. Agamalah yang mengotorisasi tindakan-tndakan kekerasan mereka.
Kedua, rutinisasi kelompok tindak kekerasan. Rutinisasi ini adalah kebiasaan atau rutinitas seseorang/ kelompok dalam melakukan suatu tindakan. Kita ambil contoh FPI, usaha-usaha yang mereka lakukan dalam menegakkan syariat Islam dengan cara membumihanguskan tempat-tempat pemaksiatan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi rutinitas dalam melakukan sebuah gerakan.
Ketiga, terjadinya dehumanisasi dari pihak pelaku terhadap korban. Dehumanisasi adalah peniadaan pangkat manusia. Pihak pelaku kekerasan tidak menganggap korban sebagai manusia itu artinya pelaku sudah tidak lagi mempunyai prikemanusiaan. Contoh kasus seorang majikan yang berlaku sewenang-wenang terhadap pembantunya. Dia tidak memandang pembantu itu segabai manusia, memerintah seenaknya bahkan sampai melakukan tindak kekerasan, tanpa memikirkan bahwa pembatu itu juga manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar